AKU
AKAN BAHAGIA
Ciptaan :
Septi mira suryana
“Aku
ingin senyum itu, senyum yang selalu menghiasi wajahnya, sebuah senyum tanda
KEBAHAGIAAN”.
***
Angin
berhembus kencang, rintik rintik hujan mulai membasahi, keringat dan air menjadi
satu. Berlarinya diriku membawa suatu kebanggaan yang selama ini ku impikan,
membawa suatu harapan baru yang bahagia. Terdengarnya suara motor melaju dengan
kencangnya, berdecit-decit menahan licinnya jalan yang tertutupi air hujan.Tersingkirnya
hadiah yang kupegang, menghamburkan lembaran lembaran gambar dari tanganku.
***
“Lari !! Lari Sasha !” Teriak Nimah kakakku
menyemangati agar aku terbebas dari bulldog
yang mengejarku.
Aku
adalah satu-satunya wanita malang yang setiap berangkat sekolah harus berlari
melewati rumah berpenghunikan raksasa dan anjingnya. Namaku Sasha teman-temanku
memanggilku Icha, walaupun aku tahu, aku sama sekali tidak memiliki satu teman
pun.
Matahari
mengeluarkan laharnya dan angin menghembuskan abunya.Lapangan olahraga terasa
panas hingga kami harus belajar didalam kelas.
“Bajunya
kusam, dekil, bau !!! Kenapa sih dia harus sekolah disini ?” Bisik seorang
gadis pada temannya sambil melirik kearahku.
Aku
pun hanya tersenyum lirih bagaikan sudah terbiasa dengan perkataan itu. Aku
tahu dan aku sangat sadar, aku hanyalah anak dari seorang pembantu. Mungkin
orang bilang aku adalah anak yang beruntung bisa bersekolah di istana semegah
ini, tetapi nyatanya aku tidak beruntung sama sekali, aku hanyalah siswa yang
tak dianggap dan terbuang. Orang yang tak dapat menyesuaikan diri dengan mereka
yang setiap hari membicarakan mobil, motor, dan pakaian branded, sedangkan aku membicarakan baju kw pun rasanya tak pantas.
Mungkin lebih baik jika aku tidak sekolah dan membantu keluarga dirumah mencari
kebahagian bersama mereka. Tapi apa mau dikata hal yang besar membutuhkan
tanggung jawab yang besar pula.
***
Rumah
selalu sepi ketika pulang dari sekolah.
“Nimah!!!
Ambilkan saya makanan lagi !!!” Teriak seseorang dari dalam istana.
Terdengar hingga aku yang berada didepan pintu
rumahnya. Sudah pasti itu suara nyonya besar yang selalu menyuruh-nyuruh kakak
untuk tak henti-hentinya bekerja. Tapi mau bagaimana lagi, toh kami memang pesuruh.
“Kak
Icha !! Kak Icha sudah pulang ??” Teriak Irwan memecahkan lamunanku.
Aku
pun kaget ketika melihat wajah kakak bertatokan lingkaran ungu dan bercucuran
tinta merah.
“Ini
mesti ulah siraksasa iblis itu, sudah kelewatan kelakuannya harus dilaporkan
kepolisi” Teriakku dengan kesalnya.
Aku
sudah tak kuat lagi ketika harus melihat wajah cantik kakak yang selalu pulang
dengan wajah yang lebam. Aku pun berlari menuju ruang tamunya dan ku terbangkan
salah satu guci kesayangannya. Matanya terbelalak ingin keluar, mukanya merah
berasap. Ditariknya tanganku dan dihempasnya ke bumi. Badanku remuk tak mampu
menahan keras dan beratnya tubuh nyonya besar yang besar bagaikan raksasa.
Disiksanya badan ini seperti sudah tak bernyawa lagi.
“Apa
yang kamu lakukan miskin ?? Sudah miskin bodoh lagi !! Kuhajar kau. Tak tahukah
kau guci ini barang mahal! Membeli lapnya saja kau tak mampu beli. Aku yakin
rumahmu tak lebih berharga dari satu guci ini.
Akan ku laporkan kau kepolisi !!!. Ocehnya merasa benar.
“Ya
benar. Aku memang tak bisa membeli apa yang kamu beli. Rumahku pun tak seperti
istanamu bahkan tak sebanding dengan tisu toilet yang ada dirumahmu. Tapi apa
salahku? Kau yang salah ! Tak seharusnya kau anggap kami orang yang murahan,
orang yang pantas untuk dihina dan dicaci maki. Kami memang orang kecil, orang
miskin tapi harga diri kami lebih tinggi dari pada harga dirimu!. Bisakah kau
diam, bisakah kau berbaik hati pada kami ?. Kami ingin bahagia sama seperti mu.
Dasar gendut!!”. Ucapku mengeluarkan kata-kata yang seharusnya ku ucapkan sejak
dulu.
Didorong
dan digoyah-goyahkan badan ini serada kurang puas dirinya menyiksa diriku,
tampaknya dia akan membunuhku. Kakiku sudah tak kuat lagi untuk menyeret badan
ini keluar dari amukannya. Tanganku sudah tak bisa kurasa, kepalaku sudah basah
akan darah yang berlari-lari keluar. Dan mataku mulai berkabut,
berbayang-bayang, dan gelap.
***
Khayalan-khayalan,
impian-impian dan ingatan-ingatan melayang-layang bertebaran keluar dari
pikiranku. Aku ingin, aku sangat ingin seperti mereka yag sudah membunuh tapi
bahagia, yang sudah menyiksa dan masih mampu tertawa, yang sudah menghina dan
masih juga bisa tersenyum manis. Apa aku harus seperti mereka agar aku
mendapatkan sebuah kebahagiaan?. Selalu terbesit dalam hatiku mungkin aku tak
akan pernah merasakan apa yang namanya bahagia. Aku tidak seperti mereka yang
dapat membeli kebahagiaan dengan uang. Aku pun tak bisa mendapatkan kebahagian
dengan kecantikanku. Aku pun tak bisa memiliki kehagian hanya dengan bakatku.
***
Sudah
sekitar 5 jam setelah kejadiaan mengerikan itu. Kupulang dari rumah sakit dan
terkaget-kaget ketika melihat betapa berantakannya seisi rumah, berteberan
kemana-mana. Sepertinya ini ulah siraksasa yang ingin membalas dendam tetapi
dia tidak dapat menemukan satu barang berharga pun disini. Lalu kulihat
terdapat selembaran kertas diatas meja, sebuah surat ancamana yang menyatakan
bahwa nyonya besar meminta ganti rugi sebesar Rp.1000.000 atas pecahnya guci
kesayangnnya atau jika tidak dia akan melaporkan kami kekantor polisi atau
bahkan membunuh kami. Kami pun kebingungan tak terarah, kami ingin keadilan
tapi apa rakyat miskin seperti kami akan mendapatkan keadilan melawan orang
yang berlimpahkan uang. Kakak hanya terdiam bingung memikirkan bagaimana caranya untuk mendapatkan uang dan irwan
adikku hanya dapat menangis. Kupikirkan segala cara dan akhirnya mendapatkan
sebuah ide.
***
Angin
berhembus kencang, matahari tertutupkan awan hitam yang telah menggantikan awan
putih .Tampaknya akan hujan aku pun langsung menyambar pintu selanjutnya. Sudah
hampir 20 rumah ku jajakan tapi tak ada satupun yang berminat. Aku berharap rumah
selanjutnya mau membelinya. Ku suguhkan baju yang seharusnya menjadi tujuan
hidup kami tetapi ku jual baju ini demi mempertahankan hidup kami.
“Permisi
bu. Saya disini ingin menjual seragam sekolah. Ada baju putih abu-abu untuk SMA
dan baju putih biru untuk SMP. Ibu mau membelinya ?”Ucapku dengan takutnya,
berharap ibu ini berbelas kasih pada diriku.
Diambilnya
setoples kaleng biscuit dan diambilnya 8 beberapa lembar uang Rp.20.000. Ku ucapkan
terima kasih dan bergegas pulang. Tetapi uang yang kupegang belum cukup untuk
membayar gucinya.
***
Terdengar langkah kakiku dengan derapan yang
begitu cepat, dilemparnya sebuah koran ke setiap rumah yang ku lewati. Dengan
penghasilan yang tak seberapa ku gantungkan hidup kami pada lembaran koran.
Matahari berada dipuncaknya, lelah tubuh ini berkeliling-liling melempari
setiap rumah dengan koran. Aku pun beristarahat, mengambil napas sejenak dan
kuambil air yang ada ditasku. Kubuka lembaran-lembaran koran serasa ingin tahu
apa yang ada didalamnya, kenapa orang-orang mengeluarkan duit hanya untuk
membeli koran bukan kah mereka memiliki televisi untuk mengetahui keadaan
diluar sana? Tanyak ku dalam hati. Kubaca dan kulihat-lihat isinya dan terdapat
sebuah formulir pendaftaran suatu perlombaaan. Perlombaan yang tak pernah
kucoba dan perlombaan yang tak akan pernah diyakini akan hasilnya. Aku senang
sekali menggambar, mencurahkan semua isi hati, menggambar sesuai kemauan hati.
Berpuluh-puluh gambar telah kubuat tetapi tak ada satupun gambar yang menarik
menurutku. Aku pun ragu untuk menggantungkan nasibku pada selembar kertas gambar.
Tetapi ini adalah kesempatan yang tak dapatang dua kali.
***
Matahari
tak mengeluarkan sinarnya karna tertutup awan mendung yang menutupinya.
Kusiapkan diriku, kumantapkan jiwaku, melangkah menuju tempat yang tak pernah
kudatangani sebelumnya. Perlombaan yang besar, dengan saingan yang besar, dan
hadiah yang besar pula. Beratus-ratus
orang berbaris mengajukan formulirnya. Membawa perlengkapan
selengkap-lengkapnya. Sedangkan aku hanya membawa buku gambar yang biasanya
kupakai dan sepucuk pensil. Kududuk disebuah tempat yang telah tersediakan, Aku
tak pernah memikirkan apa yang akan kugambar, ku mulai ayunkan pensil ini
sesuai dengan isi hatiku, ku curahkan semua perasaanku pada selembar kertas
yang tak pernah ku yakini. Berhentinya tangan ini menandakan bahwa pekerjaan ku
sudah selesai. Ku bayangkan gambar ini akan kah mampu menyingkirkan beratus-ratus
orang. Dengan judul “AKU AKAN BAHAGIA”, berharap gambar ini dapat membuatku
bahagia. Dengan ragu ku lampirkan gambarku pada panitia berharap panitia
mempunyai mata hati agar dia dapat mengetahui bahwa kami benar-benar
membutuhkan uang.
Rintik-rintik
air mulai bertebaran, dan aku masih menunggu akan hasilnya, dengan
sambutan-sambutan panitia mulai mengumumkan pemenang dari juara harapan hingga
juara pertama. Ku dengar dengan seksama para pemenang yang telah ia sebut
tetapi kenapa ia tidak meyebut namaku,apakah aku telah gagal?
“Juara
pertamanya adalah Icha dengan judul “AKU AKAN BAHAGIA” ucap panitia
Membuatku
sangat kaget benar-benar kaget. Dengan membawa piala dan uang sebesar Rp.5.000.000
ku berlari menuju dengan senangnya.
***
Angin
berhembus kencang, rintik rintik hujan mulai membasahi , Keringat dan air
menjadi satu. Berlarinya diriku membawa suatu kebanggaan yang selama ini tak pernah
kubayangkan. Kulihat kakakku yang baru pulang dari menjual koran, Terdengarnya decit-decit motor yang berusaha
memberhentikan motornya yang tak mampu dikendalikan karna licinnya jalan. Dan dibawanya diriku melesat menjauh dari
keluargaku. Tersingkirnya hadiah yang kupegang, menghamburkan lembaran-
lembaran gambar dari tanganku. Terdengar langkah kaki yang mengejarku. Aku tak
mampu mengangkat tubuh ini dan sesosok perempuan menghampiriku, menangis dengan
kerasnya, memanggil-manggil namaku dan sesosok perempuan itu akhirnya
menghilang dari pandanganku. Mungkin aku tak akan merasakan apa yang namanya
kebahagiaan, tapi dapat membahagiakan orang lain adalah impianku yang dapat membuatku bahagia.