Senin, 28 September 2015

My CERPEN (AKU AKAN BAHAGIA)



AKU AKAN BAHAGIA
                                    Ciptaan : Septi mira suryana
“Aku ingin senyum itu, senyum yang selalu menghiasi wajahnya, sebuah senyum tanda KEBAHAGIAAN”.
***
Angin berhembus kencang, rintik rintik hujan mulai membasahi, keringat dan air menjadi satu. Berlarinya diriku membawa suatu kebanggaan yang selama ini ku impikan, membawa suatu harapan baru yang bahagia. Terdengarnya suara motor melaju dengan kencangnya, berdecit-decit menahan licinnya jalan yang tertutupi air hujan.Tersingkirnya hadiah yang kupegang, menghamburkan lembaran lembaran gambar dari tanganku.
***
 “Lari !! Lari Sasha !” Teriak Nimah kakakku menyemangati agar aku terbebas dari bulldog yang mengejarku.
Aku adalah satu-satunya wanita malang yang setiap berangkat sekolah harus berlari melewati rumah berpenghunikan raksasa dan anjingnya. Namaku Sasha teman-temanku memanggilku Icha, walaupun aku tahu, aku sama sekali tidak memiliki satu teman pun.
Matahari mengeluarkan laharnya dan angin menghembuskan abunya.Lapangan olahraga terasa panas hingga kami harus belajar didalam kelas.
“Bajunya kusam, dekil, bau !!! Kenapa sih dia harus sekolah disini ?” Bisik seorang gadis pada temannya sambil melirik kearahku.
Aku pun hanya tersenyum lirih bagaikan sudah terbiasa dengan perkataan itu. Aku tahu dan aku sangat sadar, aku hanyalah anak dari seorang pembantu. Mungkin orang bilang aku adalah anak yang beruntung bisa bersekolah di istana semegah ini, tetapi nyatanya aku tidak beruntung sama sekali, aku hanyalah siswa yang tak dianggap dan terbuang. Orang yang tak dapat menyesuaikan diri dengan mereka yang setiap hari membicarakan mobil, motor, dan pakaian branded, sedangkan aku membicarakan baju kw pun rasanya tak pantas. Mungkin lebih baik jika aku tidak sekolah dan membantu keluarga dirumah mencari kebahagian bersama mereka. Tapi apa mau dikata hal yang besar membutuhkan tanggung jawab yang besar pula.
***
Rumah selalu sepi ketika pulang dari sekolah.
“Nimah!!! Ambilkan saya makanan lagi !!!” Teriak seseorang dari dalam istana.
 Terdengar hingga aku yang berada didepan pintu rumahnya. Sudah pasti itu suara nyonya besar yang selalu menyuruh-nyuruh kakak untuk tak henti-hentinya bekerja. Tapi mau bagaimana lagi, toh kami memang pesuruh.
“Kak Icha !! Kak Icha sudah pulang ??” Teriak Irwan memecahkan lamunanku.
Aku pun kaget ketika melihat wajah kakak bertatokan lingkaran ungu dan bercucuran tinta merah.
“Ini mesti ulah siraksasa iblis itu, sudah kelewatan kelakuannya harus dilaporkan kepolisi” Teriakku dengan kesalnya.
Aku sudah tak kuat lagi ketika harus melihat wajah cantik kakak yang selalu pulang dengan wajah yang lebam. Aku pun berlari menuju ruang tamunya dan ku terbangkan salah satu guci kesayangannya. Matanya terbelalak ingin keluar, mukanya merah berasap. Ditariknya tanganku dan dihempasnya ke bumi. Badanku remuk tak mampu menahan keras dan beratnya tubuh nyonya besar yang besar bagaikan raksasa. Disiksanya badan ini seperti sudah tak bernyawa lagi.
“Apa yang kamu lakukan miskin ?? Sudah miskin bodoh lagi !! Kuhajar kau. Tak tahukah kau guci ini barang mahal! Membeli lapnya saja kau tak mampu beli. Aku yakin rumahmu tak lebih berharga dari satu guci ini.  Akan ku laporkan kau kepolisi !!!. Ocehnya merasa benar.
“Ya benar. Aku memang tak bisa membeli apa yang kamu beli. Rumahku pun tak seperti istanamu bahkan tak sebanding dengan tisu toilet yang ada dirumahmu. Tapi apa salahku? Kau yang salah ! Tak seharusnya kau anggap kami orang yang murahan, orang yang pantas untuk dihina dan dicaci maki. Kami memang orang kecil, orang miskin tapi harga diri kami lebih tinggi dari pada harga dirimu!. Bisakah kau diam, bisakah kau berbaik hati pada kami ?. Kami ingin bahagia sama seperti mu. Dasar gendut!!”. Ucapku mengeluarkan kata-kata yang seharusnya ku ucapkan sejak dulu.
Didorong dan digoyah-goyahkan badan ini serada kurang puas dirinya menyiksa diriku, tampaknya dia akan membunuhku. Kakiku sudah tak kuat lagi untuk menyeret badan ini keluar dari amukannya. Tanganku sudah tak bisa kurasa, kepalaku sudah basah akan darah yang berlari-lari keluar. Dan mataku mulai berkabut, berbayang-bayang, dan gelap.
***
Khayalan-khayalan, impian-impian dan ingatan-ingatan melayang-layang bertebaran keluar dari pikiranku. Aku ingin, aku sangat ingin seperti mereka yag sudah membunuh tapi bahagia, yang sudah menyiksa dan masih mampu tertawa, yang sudah menghina dan masih juga bisa tersenyum manis. Apa aku harus seperti mereka agar aku mendapatkan sebuah kebahagiaan?. Selalu terbesit dalam hatiku mungkin aku tak akan pernah merasakan apa yang namanya bahagia. Aku tidak seperti mereka yang dapat membeli kebahagiaan dengan uang. Aku pun tak bisa mendapatkan kebahagian dengan kecantikanku. Aku pun tak bisa memiliki kehagian hanya dengan bakatku.
***
Sudah sekitar 5 jam setelah kejadiaan mengerikan itu. Kupulang dari rumah sakit dan terkaget-kaget ketika melihat betapa berantakannya seisi rumah, berteberan kemana-mana. Sepertinya ini ulah siraksasa yang ingin membalas dendam tetapi dia tidak dapat menemukan satu barang berharga pun disini. Lalu kulihat terdapat selembaran kertas diatas meja, sebuah surat ancamana yang menyatakan bahwa nyonya besar meminta ganti rugi sebesar Rp.1000.000 atas pecahnya guci kesayangnnya atau jika tidak dia akan melaporkan kami kekantor polisi atau bahkan membunuh kami. Kami pun kebingungan tak terarah, kami ingin keadilan tapi apa rakyat miskin seperti kami akan mendapatkan keadilan melawan orang yang berlimpahkan uang. Kakak hanya terdiam bingung memikirkan bagaimana  caranya untuk mendapatkan uang dan irwan adikku hanya dapat menangis. Kupikirkan segala cara dan akhirnya mendapatkan sebuah ide.
***
Angin berhembus kencang, matahari tertutupkan awan hitam yang telah menggantikan awan putih .Tampaknya akan hujan aku pun langsung menyambar pintu selanjutnya. Sudah hampir 20 rumah ku jajakan tapi tak ada satupun yang berminat. Aku berharap rumah selanjutnya mau membelinya. Ku suguhkan baju yang seharusnya menjadi tujuan hidup kami tetapi ku jual baju ini demi mempertahankan hidup kami.
“Permisi bu. Saya disini ingin menjual seragam sekolah. Ada baju putih abu-abu untuk SMA dan baju putih biru untuk SMP. Ibu mau membelinya ?”Ucapku dengan takutnya, berharap ibu ini berbelas kasih pada diriku.
Diambilnya setoples kaleng biscuit dan diambilnya 8 beberapa lembar uang Rp.20.000. Ku ucapkan terima kasih dan bergegas pulang. Tetapi uang yang kupegang belum cukup untuk membayar gucinya.
***
 Terdengar langkah kakiku dengan derapan yang begitu cepat, dilemparnya sebuah koran ke setiap rumah yang ku lewati. Dengan penghasilan yang tak seberapa ku gantungkan hidup kami pada lembaran koran. Matahari berada dipuncaknya, lelah tubuh ini berkeliling-liling melempari setiap rumah dengan koran. Aku pun beristarahat, mengambil napas sejenak dan kuambil air yang ada ditasku. Kubuka lembaran-lembaran koran serasa ingin tahu apa yang ada didalamnya, kenapa orang-orang mengeluarkan duit hanya untuk membeli koran bukan kah mereka memiliki televisi untuk mengetahui keadaan diluar sana? Tanyak ku dalam hati. Kubaca dan kulihat-lihat isinya dan terdapat sebuah formulir pendaftaran suatu perlombaaan. Perlombaan yang tak pernah kucoba dan perlombaan yang tak akan pernah diyakini akan hasilnya. Aku senang sekali menggambar, mencurahkan semua isi hati, menggambar sesuai kemauan hati. Berpuluh-puluh gambar telah kubuat tetapi tak ada satupun gambar yang menarik menurutku. Aku pun ragu untuk menggantungkan nasibku pada selembar kertas gambar. Tetapi ini adalah kesempatan yang tak dapatang dua kali.
***
Matahari tak mengeluarkan sinarnya karna tertutup awan mendung yang menutupinya. Kusiapkan diriku, kumantapkan jiwaku, melangkah menuju tempat yang tak pernah kudatangani sebelumnya. Perlombaan yang besar, dengan saingan yang besar, dan hadiah yang besar pula.  Beratus-ratus orang berbaris mengajukan formulirnya. Membawa perlengkapan selengkap-lengkapnya. Sedangkan aku hanya membawa buku gambar yang biasanya kupakai dan sepucuk pensil. Kududuk disebuah tempat yang telah tersediakan, Aku tak pernah memikirkan apa yang akan kugambar, ku mulai ayunkan pensil ini sesuai dengan isi hatiku, ku curahkan semua perasaanku pada selembar kertas yang tak pernah ku yakini. Berhentinya tangan ini menandakan bahwa pekerjaan ku sudah selesai. Ku bayangkan gambar ini akan kah mampu menyingkirkan beratus-ratus orang. Dengan judul “AKU AKAN BAHAGIA”, berharap gambar ini dapat membuatku bahagia. Dengan ragu ku lampirkan gambarku pada panitia berharap panitia mempunyai mata hati agar dia dapat mengetahui bahwa kami benar-benar membutuhkan uang.
Rintik-rintik air mulai bertebaran, dan aku masih menunggu akan hasilnya, dengan sambutan-sambutan panitia mulai mengumumkan pemenang dari juara harapan hingga juara pertama. Ku dengar dengan seksama para pemenang yang telah ia sebut tetapi kenapa ia tidak meyebut namaku,apakah aku telah gagal?
“Juara pertamanya adalah Icha dengan judul “AKU AKAN BAHAGIA” ucap panitia
Membuatku sangat kaget benar-benar kaget. Dengan membawa piala dan uang sebesar Rp.5.000.000 ku berlari menuju dengan senangnya.
***
Angin berhembus kencang, rintik rintik hujan mulai membasahi , Keringat dan air menjadi satu. Berlarinya diriku membawa suatu kebanggaan yang selama ini tak pernah kubayangkan. Kulihat kakakku yang baru pulang dari menjual koran,   Terdengarnya decit-decit motor yang berusaha memberhentikan motornya yang tak mampu dikendalikan karna licinnya jalan.  Dan dibawanya diriku melesat menjauh dari keluargaku. Tersingkirnya hadiah yang kupegang, menghamburkan lembaran- lembaran gambar dari tanganku. Terdengar langkah kaki yang mengejarku. Aku tak mampu mengangkat tubuh ini dan sesosok perempuan menghampiriku, menangis dengan kerasnya, memanggil-manggil namaku dan sesosok perempuan itu akhirnya menghilang dari pandanganku. Mungkin aku tak akan merasakan apa yang namanya kebahagiaan, tapi dapat membahagiakan orang lain adalah impianku yang dapat membuatku bahagia.

Tidak ada komentar:

Pages